Sistem Informasi & Pelayanan Kalibagor Terpadu (SIPeKaT)
Pemerintah Desa Kalibagor
Kabupaten Situbondo

Desa
Kalibagor

Login Admin
Statistik Pengunjung
Info Aplikasi
Selamat Datang Di Sistem Informasi & Pelayanan Kalibagor Terpadu (SIPeKaT) Desa Kalibagor, Kec. Situbondo, Kab. Situbondo

Info

Berita Nasional

Banjir dan Longsor di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat: Ketika Iklim, Deforestasi dan Politik Bertabrakan

Banjir dan Longsor di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat: Ketika Iklim, Deforestasi dan Politik Bertabrakan

Aceh / Sumatera — 9 Desember 2025. Gelombang banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada awal Desember 2025 bukan hanya bencana alam banyak pihak memaparkan rangkaian masalah struktural dari degradasi hutan di hulu, pemberian izin sawit dan tambang, hingga tarik-menarik politik antara pejabat pusat dan daerah yang memperparah dampak dan memperumit upaya pemulihan. Hingga awal pekan ini data resmi menyebutkan per hari Senin, 8 Desember 2025 sebanyak 974 orang meninggal dan 298 masih dinyatakan hilang.

Angka dan kebutuhan pemulihan

Kepala BNPB melaporkan ratusan korban tewas dan ratusan lainnya hilang dalam gelombang banjir dan longsor yang mengikuti badai yang melintas di wilayah Sumatra. Pemerintah pusat memperkirakan kebutuhan pemulihan mencapai sekitar Rp51,8 triliun dengan Aceh menjadi provinsi yang paling membutuhkan. Presiden mengatakan pemerintah “mampu dan akan mengelola” pemulihan tersebut. Namun kenyataan di lapangan membuktikan desa terisolir, keluarga yang kehilangan rumah dan ladang, serta posko pengungsian yang penuh menunjukkan bahwa kebutuhan logistik dan waktu rekonstruksi akan besar.

Persoalan ekologis: deforestasi, sawit, tambang, dan illegal logging

Bencana kali ini dipandang banyak ilmuwan dan organisasi lingkungan sebagai “bencana yang dimagnifikasi” oleh degradasi hutan di daerah hulu: penebangan liar, izin industri untuk perkebunan sawit dan tambang, serta fragmentasi ekologis mengurangi kemampuan ekosistem untuk menahan curah hujan ekstrem. Pakar dan lembaga lingkungan menyatakan bahwa kombinasi badai intens dengan kondisi daerah tangkapan air yang rusak menjadikan limpasan lebih cepat dan longsoran lebih sering. Lembaga riset-universitas serta LSM lingkungan menyerukan moratorium sementara pada izin baru dan evaluasi ulang konsesi di hulu agar risiko serupa tidak terulang.

Secara politik, tekanan publik terhadap praktik perizinan yang longgar terbawa ke ruang kebijakan. Baru-baru ini pemerintah pusat mengenakan denda besar dan menyita lahan pada sejumlah perusahaan perkebunan dan tambang yang terbukti beroperasi di kawasan hutan, tindakan yang dilaporkan media internasional sebagai langkah besar menegakkan aturan hutan. Bagi sebagian pengamat, ini menunjukkan perubahan sahih dalam penegakan hukum dan bagi yang lain, tindakan tersebut sudah terlambat bagi warga yang kini menanggung dampaknya secara langsung.

Ketidaksesuaian antara pernyataan pejabat dan realitas lapangan

Dalam beberapa hari terakhir terlihat perbedaan nada antara pejabat pusat dan suara di daerah. Presiden mengatakan respons pemerintah cepat dan menyatakan kesiapan anggaran pemulihan, Menteri dan petinggi BNPB menekankan manajemen terpadu. Di sisi lain, gubernur dan sejumlah kepala daerah di Aceh menyampaikan gambaran lebih kelam, beberapa bupati bahkan menyatakan kewalahan menangani dampak di wilayahnya. Perbedaan ini memicu perdebatan publik tentang apakah level status darurat, distribusi bantuan, dan koordinasi antarlembaga sudah sesuai dengan keadaan yang ada di lapangan.

Contoh konkrit: Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) menegaskan bahwa beberapa kepala daerah “sebaiknya mundur” bila tidak sanggup menangani bencana, mengkritik kapasitas lokal dan menekankan urgensi campur tangan Pemerintah Pusat. Sementara pejabat pusat menilai status darurat daerah sudah memadai dan menegaskan kemampuan pemerintah pusat untuk mengatur pemulihan. Kontras pernyataan ini menambah kebingungan publik dan menimbulkan pertanyaan soal koordinasi dalam tanggap darurat.

Perspektif sosial: bantuan publik dan peran influencer

Di tengah kekacauan, muncul gelombang solidaritas masyarakat sipil dan figur publik. Salah satu inisiator bantuan yang mendapat perhatian media adalah Ferry Irwandi (pendiri Malaka Project), yang bersama sejumlah influencer dan relawan menggalang donor besar — dikabarkan mencapai lebih dari Rp10 miliar dalam waktu singkat yang kemudian menyalurkannya ke lokasi terdampak. Kolaborasi antara figur publik, organisasi kemanusiaan lokal menjadi saluran cepat untuk barang-barang kebutuhan dasar ketika jalur distribusi resmi masih terkendala. Namun, ada juga laporan perbedaan prioritas antara donasi publik dan penyaluran resmi, serta kekhawatiran tentang akuntabilitas jangka panjang jika bantuan bersifat ad-hoc tanpa koordinasi yang rapi. 

Analisis politik: kenapa isu lingkungan menjadi isu politik?

Banjir kali ini mempertemukan beberapa kepentingan ekonomi ekstraktif (perkebunan, pertambangan), politik lokal (kepala daerah, gubernur), dan legitimasi pemerintahan pusat. Ketika bukti ilmiah mengaitkan deforestasi dan praktik perizinan dengan meningkatnya risiko bencana, tuntutan publik dan aktivis lingkungan berubah jadi tuntutan kebijakan moratorium izin, audit konsesi, dan penegakan hukum terhadap illegal logging. Hal tersebut membuat pemerintah pusat dalam posisi sulit untuk menyeimbangkan kebutuhan pertumbuhan ekonomi berbasis sumber daya alam dengan tekanan untuk melindungi keselamatan publik dan menegakkan aturan lingkungan termasuk saat keputusan keras seperti penyitaan lahan dan denda besar diumumkan.

Penutup: kebijakan pencegahan harus seiring dengan bantuan darurat

Bantuan cepat dan empatik seperti inisiatif Ferry Irwandi dan relawan memang menyelamatkan nyawa dan meringankan penderitaan. Namun pengalaman ini menegaskan satu hal, tanpa reformasi tata kelola alam di hulu, perbaikan penegakan hukum terhadap illegal logging, evaluasi izin sawit dan tambang, serta perencanaan ruang yang memperhatikan kapasitas drainase alami, bencana serupa berpotensi terulang. Pemerintah pusat telah mengumumkan anggaran besar untuk memulihkan kepercayaan publik dan lembaga lingkungan menuntut agar anggaran tersebut dipakai tidak hanya memperbaiki fisik, tetapi juga mengubah praktik yang mendasari bencana tersebut.


Sumber utama yang dikutip: liputan lokal dan nasional (Liputan6, Detik, Tempo, Kontan), laporan internasional (Reuters, ABC, Euronews), analisis akademik (UGM), dan pernyataan LSM lingkungan (Greenpeace). Untuk kutipan langsung pernyataan pejabat dan angka resmi, lihat laporan Reuters, pernyataan BNPB yang dikutip media nasional, serta artikel tentang penggalangan dana Ferry Irwandi.

Beri Komentar

Komentar Facebook

layananmandiri

Hubungi Aparatur Desa Untuk mendapatkan PIN

Statistik Penduduk

Total Populasi Desa Kalibagor

1506 1506

1562 3068

3068

3068 3068

TOTAL : 3068 ORANG

1506

LAKI-LAKI

1562

PEREMPUAN

Lokasi Kantor Desa

Alamat:Jl. Raya Bondowoso No.06 Kode Pos 68314
Desa : Kalibagor
Kecamatan : Situbondo
Kabupaten : Situbondo
Kodepos : 68314

Peta Wilayah Desa

Transparansi Anggaran

APBD 2025 Pelaksanaan

Pendapatan

Anggaran:Rp 1.660.326.000,00
Realisasi:RP 785.147.631,89

47.29%

Belanja

Anggaran:Rp 1.628.438.829,19
Realisasi:RP 713.551.598,38

43.82%

Pembiayaan

Anggaran:Rp -31.887.170,81
Realisasi:RP 3.112.829,19

-9.76%

APBD 2025 Pendapatan

Hasil Aset Desa

Anggaran:Rp 6.000.000,00
Realisasi:RP 0,00

0%

Dana Desa

Anggaran:Rp 933.110.000,00
Realisasi:RP 476.266.000,00

51.04%

Bagi Hasil Pajak Dan Retribusi

Anggaran:Rp 46.498.000,00
Realisasi:RP 18.890.000,00

40.63%

Alokasi Dana Desa

Anggaran:Rp 618.718.000,00
Realisasi:RP 289.434.000,00

46.78%

Bantuan Keuangan Kabupaten/Kota

Anggaran:Rp 50.000.000,00
Realisasi:RP 0,00

0%

Koreksi Kesalahan Belanja Tahun-Tahun Sebelumnya

Anggaran:Rp 5.000.000,00
Realisasi:RP 0,00

0%

Bunga Bank

Anggaran:Rp 1.000.000,00
Realisasi:RP 557.631,89

55.76%

APBD 2025 Pembelanjaan

Bidang Penyelenggaran Pemerintahan Desa

Anggaran:Rp 810.680.285,19
Realisasi:RP 340.461.598,38

42%

Bidang Pelaksanaan Pembangunan Desa

Anggaran:Rp 341.880.000,00
Realisasi:RP 199.500.000,00

58.35%

Bidang Pembinaan Kemasyarakatan Desa

Anggaran:Rp 106.678.000,00
Realisasi:RP 25.230.000,00

23.65%

Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa

Anggaran:Rp 297.200.544,00
Realisasi:RP 112.360.000,00

37.81%

Bidang Penanggulangan Bencana, Darurat Dan Mendesak Desa

Anggaran:Rp 72.000.000,00
Realisasi:RP 36.000.000,00

50%

Sistem Informasi & Pelayanan Kalibagor Terpadu (SIPeKaT)
Pemerintah Desa Kalibagor
Kabupaten Situbondo

Desa
Kalibagor

Login Admin
Statistik Pengunjung
Info Aplikasi

Berita Nasional

Banjir dan Longsor di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat: Ketika Iklim, Deforestasi dan Politik Bertabrakan

Banjir dan Longsor di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat: Ketika Iklim, Deforestasi dan Politik Bertabrakan

Aceh / Sumatera — 9 Desember 2025. Gelombang banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada awal Desember 2025 bukan hanya bencana alam banyak pihak memaparkan rangkaian masalah struktural dari degradasi hutan di hulu, pemberian izin sawit dan tambang, hingga tarik-menarik politik antara pejabat pusat dan daerah yang memperparah dampak dan memperumit upaya pemulihan. Hingga awal pekan ini data resmi menyebutkan per hari Senin, 8 Desember 2025 sebanyak 974 orang meninggal dan 298 masih dinyatakan hilang.

Angka dan kebutuhan pemulihan

Kepala BNPB melaporkan ratusan korban tewas dan ratusan lainnya hilang dalam gelombang banjir dan longsor yang mengikuti badai yang melintas di wilayah Sumatra. Pemerintah pusat memperkirakan kebutuhan pemulihan mencapai sekitar Rp51,8 triliun dengan Aceh menjadi provinsi yang paling membutuhkan. Presiden mengatakan pemerintah “mampu dan akan mengelola” pemulihan tersebut. Namun kenyataan di lapangan membuktikan desa terisolir, keluarga yang kehilangan rumah dan ladang, serta posko pengungsian yang penuh menunjukkan bahwa kebutuhan logistik dan waktu rekonstruksi akan besar.

Persoalan ekologis: deforestasi, sawit, tambang, dan illegal logging

Bencana kali ini dipandang banyak ilmuwan dan organisasi lingkungan sebagai “bencana yang dimagnifikasi” oleh degradasi hutan di daerah hulu: penebangan liar, izin industri untuk perkebunan sawit dan tambang, serta fragmentasi ekologis mengurangi kemampuan ekosistem untuk menahan curah hujan ekstrem. Pakar dan lembaga lingkungan menyatakan bahwa kombinasi badai intens dengan kondisi daerah tangkapan air yang rusak menjadikan limpasan lebih cepat dan longsoran lebih sering. Lembaga riset-universitas serta LSM lingkungan menyerukan moratorium sementara pada izin baru dan evaluasi ulang konsesi di hulu agar risiko serupa tidak terulang.

Secara politik, tekanan publik terhadap praktik perizinan yang longgar terbawa ke ruang kebijakan. Baru-baru ini pemerintah pusat mengenakan denda besar dan menyita lahan pada sejumlah perusahaan perkebunan dan tambang yang terbukti beroperasi di kawasan hutan, tindakan yang dilaporkan media internasional sebagai langkah besar menegakkan aturan hutan. Bagi sebagian pengamat, ini menunjukkan perubahan sahih dalam penegakan hukum dan bagi yang lain, tindakan tersebut sudah terlambat bagi warga yang kini menanggung dampaknya secara langsung.

Ketidaksesuaian antara pernyataan pejabat dan realitas lapangan

Dalam beberapa hari terakhir terlihat perbedaan nada antara pejabat pusat dan suara di daerah. Presiden mengatakan respons pemerintah cepat dan menyatakan kesiapan anggaran pemulihan, Menteri dan petinggi BNPB menekankan manajemen terpadu. Di sisi lain, gubernur dan sejumlah kepala daerah di Aceh menyampaikan gambaran lebih kelam, beberapa bupati bahkan menyatakan kewalahan menangani dampak di wilayahnya. Perbedaan ini memicu perdebatan publik tentang apakah level status darurat, distribusi bantuan, dan koordinasi antarlembaga sudah sesuai dengan keadaan yang ada di lapangan.

Contoh konkrit: Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) menegaskan bahwa beberapa kepala daerah “sebaiknya mundur” bila tidak sanggup menangani bencana, mengkritik kapasitas lokal dan menekankan urgensi campur tangan Pemerintah Pusat. Sementara pejabat pusat menilai status darurat daerah sudah memadai dan menegaskan kemampuan pemerintah pusat untuk mengatur pemulihan. Kontras pernyataan ini menambah kebingungan publik dan menimbulkan pertanyaan soal koordinasi dalam tanggap darurat.

Perspektif sosial: bantuan publik dan peran influencer

Di tengah kekacauan, muncul gelombang solidaritas masyarakat sipil dan figur publik. Salah satu inisiator bantuan yang mendapat perhatian media adalah Ferry Irwandi (pendiri Malaka Project), yang bersama sejumlah influencer dan relawan menggalang donor besar — dikabarkan mencapai lebih dari Rp10 miliar dalam waktu singkat yang kemudian menyalurkannya ke lokasi terdampak. Kolaborasi antara figur publik, organisasi kemanusiaan lokal menjadi saluran cepat untuk barang-barang kebutuhan dasar ketika jalur distribusi resmi masih terkendala. Namun, ada juga laporan perbedaan prioritas antara donasi publik dan penyaluran resmi, serta kekhawatiran tentang akuntabilitas jangka panjang jika bantuan bersifat ad-hoc tanpa koordinasi yang rapi. 

Analisis politik: kenapa isu lingkungan menjadi isu politik?

Banjir kali ini mempertemukan beberapa kepentingan ekonomi ekstraktif (perkebunan, pertambangan), politik lokal (kepala daerah, gubernur), dan legitimasi pemerintahan pusat. Ketika bukti ilmiah mengaitkan deforestasi dan praktik perizinan dengan meningkatnya risiko bencana, tuntutan publik dan aktivis lingkungan berubah jadi tuntutan kebijakan moratorium izin, audit konsesi, dan penegakan hukum terhadap illegal logging. Hal tersebut membuat pemerintah pusat dalam posisi sulit untuk menyeimbangkan kebutuhan pertumbuhan ekonomi berbasis sumber daya alam dengan tekanan untuk melindungi keselamatan publik dan menegakkan aturan lingkungan termasuk saat keputusan keras seperti penyitaan lahan dan denda besar diumumkan.

Penutup: kebijakan pencegahan harus seiring dengan bantuan darurat

Bantuan cepat dan empatik seperti inisiatif Ferry Irwandi dan relawan memang menyelamatkan nyawa dan meringankan penderitaan. Namun pengalaman ini menegaskan satu hal, tanpa reformasi tata kelola alam di hulu, perbaikan penegakan hukum terhadap illegal logging, evaluasi izin sawit dan tambang, serta perencanaan ruang yang memperhatikan kapasitas drainase alami, bencana serupa berpotensi terulang. Pemerintah pusat telah mengumumkan anggaran besar untuk memulihkan kepercayaan publik dan lembaga lingkungan menuntut agar anggaran tersebut dipakai tidak hanya memperbaiki fisik, tetapi juga mengubah praktik yang mendasari bencana tersebut.


Sumber utama yang dikutip: liputan lokal dan nasional (Liputan6, Detik, Tempo, Kontan), laporan internasional (Reuters, ABC, Euronews), analisis akademik (UGM), dan pernyataan LSM lingkungan (Greenpeace). Untuk kutipan langsung pernyataan pejabat dan angka resmi, lihat laporan Reuters, pernyataan BNPB yang dikutip media nasional, serta artikel tentang penggalangan dana Ferry Irwandi.

Beri Komentar

Komentar Facebook